Salah satu masalah yang dihadapi di perkotaan adalah tingginya nilai backlog. Backlog adalah selisih antara ketersediaan rumah dengan permintaan rumah. Pada tahun 2015 berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementrian PUPR, backlog (penghunian) rumah di Indonesia sebanyak 7,6 juta. Jumlah rumah yang dapat dibangun oleh pemerintah dan swasta per tahun tidak sebanding dengan permintaan rumah yang terus meningkat, khususnya bagi masyarakat yang secara ekonomi berada di bawah.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan rumah, masyarakat secara swadaya sudah melakukannya. Mulai dari rumah adat gadang (Minang), mukim (Aceh), rumah panjang (Dayak) hingga rumah sederhana seperti sekarang. Berdasarkan data BPS pada tahun 2013, masyarakat telah membangun rumahnya sendiri tanpa bantuan pemerintah atau swasta sebesar 71%. Hal ini berarti sebenarnya masyarakat mampu merencanakan kawasan perumahan/permukiman secara swadaya walapun dengan keterbatasan secara informasi, teknis perencanaan, biaya, dan teori, tetapi mereka telah berhasil melakukannya. Umumnya hal ini terjadi pada penduduk yang tinggal di wilayah yang dinilai kurang strategis oleh pemerintah serta tidak inklusifnya pembangunan perkotaan karena tidak mengikutsertakan semua penduduknya. Perencanaan yang dilakukan secara swadaya oleh penduduk tentu memiliki tahapan yang berbeda-beda, lalu seperti apa proses perencanaannya?
Kampung Rawa, Kebon Jeruk merupakan salah satu kampung yang menandatangani kontrak politik dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Kontrak ini kurang lebih berisi tentang penataan kampung yang dilakukan sendiri oleh penduduk setempat. Pada artikel ini penulis akan menceritakan proses Community Action Plan yang berlangsung di kampung rawa, mulai dari pembentukan kelompok kerja sampai output dari perencanaan dalam bentuk peta. Community Action Plan (CAP) atau rencana tindak komunitas merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk mendorong warga supaya dapat secara mandiri merencanakan, melaksanakan, dan memelihara kualitas kawasan permukimannya. CAP terdiri dari tiga tahap, yaitu pre-CAP, CAP, dan post-CAP.
Proses pertama atau pre-CAP terdiri dari pembekalan, simulasi musyawarah, pembentukan kelompok kerja, dan pengumpulan informasi awal. Tahap ini merupakan tahap persiapan yang meliputi pengarahan masyarakat untuk berkomitmen dalam kegiatan CAP, penyiapan profil kampung, pembekalan tentang proses CAP, dan pembentukan tim kerja.
Kegiatan penggalian data dapat dilakukan berdasarkan berbagai macam kelompok masyarakat. Salah satunya adalah kelompok anak-anak, karena prinsip CAP adalah dapat melibatkan semua kelompok masyarakat dalam proses perencanaan sehingga rencana yang dihasilkan akan sesuai dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh mayoritas warga kampung rawa.
Setelah melakukan proses penggalian data, hal selanjutnya adalah menentukan visi misi yang dilakukan oleh tim kerja, perwakilan warga tiap gang dan LSM yang membantu. Tentu terdapat perbedaan keinginan antar warga, untuk mengatasinya dapat dipilih melalui suara terbanyak.
Tahap terakhir adalah post-CAP, tahap ini lebih bersifat meninjau kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah didapat dalam tahap musyawarah sebelumnya. Kesepakatan-kesepakatan tidak saja berupa pelaksanaan dari program dan budgeting (pendanaan), tetapi juga terkait dengan komitmen warga terhadap perencanaan yang akan berlangsung sampai diimplementasikan. Tahapan ini berisi pula monitoring proses implementasi kegiatan yang telah dilakukan.
Setelah dokumen perencanaan tersebut disetujui oleh sebagian besar warga, maka dokumen tersebut akan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk segera diimplementasikan berdasarkan kemampuan pemerintah.
Tentu proses ini memiliki keunggulan dan kelemahan, keunggulannya adalah perencanaan ini bersifat bottom-up sehingga hasil perencanaannya akan sesuai dengan kebutuhan, mempererat hubungan antar warga karena sadar memiliki kebutuhan yang sama yang perlu diperjuangkan, meningkatkan kualitasi dan kuantitas partisipasi warga dalam perencanaan kota. Sedangkan kekurangannya dapat berupa permasalahan teknis perencanaan, serta sering ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai kebutuhan apa yang paling mendesak.
Ditulis oleh:
Faza Arrafi, seorang mahasiswa jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Trisakti sejak tahun 2016. Selain beraktivitas di kampus, juga tertarik belajar banyak hal mengenai perkotaan, baik di kantor maupun berinteraksi langsung dengan masyarakat. (Email: Fazarrafi4@gmail.com, Twitter: @fazarrafi)
Gambar 1. LSM memberikan pembekalan kepada warga kampung
Pada tahap ini juga warga melakukan simulasi proses musyawarah dengan melibatkan banyak pihak, khususnya warga kampung baik tentang kendala maupun potensi kampung tersebut. Proses terakhir pada tahap pre-CAP adalah warga telah menetapkan tim kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam proses CAP.
Tahap selanjutnya yaitu CAP, dimulai dengan proses penggalian data untuk mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan dan dibutuhkan oleh warga Kampung Rawa. Dalam proses penggalian data dilakukan dengan cara mengisi angket terbuka. Pemilihan angket terbuka dipilih karena mampu menggali data atau keterangan lebih dalam, sedangkan angket tertutup hanya sekedar memastikan suatu pertanyaan sehingga kurang dapat memberi masukan-masukan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Oleh karena itu, dipilihlah metode angket terbuka.
Gambar 2. Penggalian data pada kelompok anak-anak
Kegiatan penggalian data dapat dilakukan berdasarkan berbagai macam kelompok masyarakat. Salah satunya adalah kelompok anak-anak, karena prinsip CAP adalah dapat melibatkan semua kelompok masyarakat dalam proses perencanaan sehingga rencana yang dihasilkan akan sesuai dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh mayoritas warga kampung rawa.
Gambar 3. Penentuan visi misi kampung oleh kelompok kerja, perwakilan warga, dan LSM
Setelah melakukan proses penggalian data, hal selanjutnya adalah menentukan visi misi yang dilakukan oleh tim kerja, perwakilan warga tiap gang dan LSM yang membantu. Tentu terdapat perbedaan keinginan antar warga, untuk mengatasinya dapat dipilih melalui suara terbanyak.
Tahap terakhir adalah post-CAP, tahap ini lebih bersifat meninjau kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah didapat dalam tahap musyawarah sebelumnya. Kesepakatan-kesepakatan tidak saja berupa pelaksanaan dari program dan budgeting (pendanaan), tetapi juga terkait dengan komitmen warga terhadap perencanaan yang akan berlangsung sampai diimplementasikan. Tahapan ini berisi pula monitoring proses implementasi kegiatan yang telah dilakukan.
Gambar 4. Warga mendiskusikan kembali output perencanaan yang telah dibuat
Setelah dokumen perencanaan tersebut disetujui oleh sebagian besar warga, maka dokumen tersebut akan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk segera diimplementasikan berdasarkan kemampuan pemerintah.
Tentu proses ini memiliki keunggulan dan kelemahan, keunggulannya adalah perencanaan ini bersifat bottom-up sehingga hasil perencanaannya akan sesuai dengan kebutuhan, mempererat hubungan antar warga karena sadar memiliki kebutuhan yang sama yang perlu diperjuangkan, meningkatkan kualitasi dan kuantitas partisipasi warga dalam perencanaan kota. Sedangkan kekurangannya dapat berupa permasalahan teknis perencanaan, serta sering ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai kebutuhan apa yang paling mendesak.
Ditulis oleh:
Faza Arrafi, seorang mahasiswa jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Trisakti sejak tahun 2016. Selain beraktivitas di kampus, juga tertarik belajar banyak hal mengenai perkotaan, baik di kantor maupun berinteraksi langsung dengan masyarakat. (Email: Fazarrafi4@gmail.com, Twitter: @fazarrafi)