Hidup di Jepang merupakan hal yang sangat mengesankan untuk saya. Banyak hal yang membuat saya terkesan selama tinggal di Jepang 1 (satu) tahun lamanya. Mulai dari sistem transportasinya, budaya antri dan melayaninya, bangunan-bangunan uniknya, semangat kerja orang Jepang, dan masih banyak lagi. Namun ada satu hal yang membuat saya sangat heran, yaitu kebersihan daerahnya. Tidak hanya di kota saja yang memang benar-benar bersih, namun juga di daerah perkampungan, bahkan di pedesaaan.
Lokasi: Shirakawa-go
Photo by: Mita Astari
Lokasi: Kurashiki-Shi (Atas) dan Futako Tamagawa (Bawah)
Photo by: Mita Astari
Lokasi: Kuji Station, Yokohama
Photo by: Mita Astari
Lokasi: Roppongi, Tokyo (Atas), Yokohama City (Bawah)
Photo by: Mita Astari
Foto-foto di atas membuktikan betapa bersihnya kondisi di Jepang. Terlihat dari sungainya yang warnanya jernih, tidak ada sampah, dan bahkan tidak bau. Buktinya sungai di daerah Kurashiki-shi (area pariwisata bangunan kuno Jepang) ikan-ikan bisa hidup dengan ukuran yang bisa dibilang tidak kecil. Sedangkan di Futako Tamagawa, penduduk bisa bersantai ria di pinggir sungai bahkan mungkin bermain air di dalamnya tanpa terganggu bau yang tidak sedap ataupun sampah.
Yang membuat saya heran, selama tinggal di Jepang, saya agak kesulitan mencari tempat sampah. Di jalan-jalan umum, jarang saya melihat tempat sampah. Kebiasaan di Indonesia (baca: buang sampah sembarangan) tidak bisa dilakukan di Jepang. Ada 2 (dua) faktor penyebabnya. Yang pertama, kalau ketahuan polisi Jepang, bisa repot. Ada denda yang harus dibayar (meskipun saya tidak tahu besarannya, tapi info yang saya dapat lumayan juga jumlahnya) dan berurusan dengan polisi Jepang memang merepotkan. Merepotkan karena memang selain terkendala bahasa, polisi Jepang memang ketat dalam menerapkan peraturan. Info ini juga saya peroleh dari teman saya yang notabene orang Jepang.
Faktor kedua adalah malu. Lingkungan sudah bersih dan saya malu kalau mengotorinya. Selain itu, jika dilihat orang Jepang, bisa dipelototi bahkan dimarahi. Ada cerita lucu yang dialami teman kuliah saya. Dia membuang sampah di tempat sampah di rumah orang lain. Teman saya lalu dimarahi si empunya rumah. Bagi saya dan teman saya, aneh karena kita tidak membuang sampah sembarangan, tetapi malah dimarahi.
Keheranan saya ini akhirnya terjawab setelah beberapa waktu membiasakan diri hidup di Jepang. Terlebih lagi, saya senang dengan pola yang diterapkan Jepang khususnya tentang pengelolaan sampah.
Bagaimana Membuang Sampah di Jepang?
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Itulah pepatah yang memang benar adanya. Ketika periode awal tinggal di Jepang, saya merasa ‘jetlag’ dengan kebiasaan tertib penduduk di sana tentang mekanisme membuang sampah. Pikiran yang muncul adalah ‘RIBET’. Kenapa?
1. Karena kita harus memilah-milah sampah yang akan kita buang.
Di Jepang, banyak aturan yang harus dipatuhi dalam membuang sampah. Dari dapur misalnya. Kita tidak boleh membuang minyak ke dalam wastafel atau selokan atau bahkan dibuang langsung ke tempat sampah. Hal ini menyebabkan tersumbatnya wastafel, mencemari air di selokan, bahkan mencemari tempat sampah itu sendiri. Uniknya, ada beberapa cara membuang minyak goreng bekas di Jepang. Salah satunya adalah membeli bubuk kimia yang dijual di supermarket. Bubuk kimia ini kemudian dicampurkan ke minyak goreng bekas dan akan mengentalkan minyak tersebut. Atau membeli sejenis tissue yang menyerap minyak goreng bekas. Baru kemudian dibungkus plastik dan dibuang.
Bagaimana dengan jenis sampah yang lain? Sampah jenis lainnya juga harus dipisah. Botol kaca, kaleng, plastik (harus diremuk), tutup botol plastik, karton bekas minuman (harus dalam kondisi kosong dan dilipat), kertas biasa (harus dijadikan satu dan ditali), dan sampah organik (termasuk sisa makanan) harus dipisah. Masing-masing harus dimasukkan ke dalam tempat atau dibungkus dengan plastik yang berbeda.
Jadwal Pengambilan Sampah
Sumber: bacaterus.com
Pengambilan sampah pun ada jadwalnya untuk masing-masing jenis sampah. Penentuan jadwal pengambilan sampah berbeda di masing-masing daerah. Tapi yang pasti, standar pemilahan sampah hampir sama di semua area.
2. Karena jarang ada tempat sampah di jalan-jalan umum.
Ketika saya travelling keliling Tokyo atau Yokohama, jarang sekali saya temui tong sampah di jalan-jalan umum tapi lingkungannya bersih. Berbeda sama sekali dengan kondisi di Indonesia yang banyak tempat sampah tetapi kondisi lingkungan masih saja banyak sampah-sampah berserakan. Sempat kerepotan di masa awal hidup di Jepang karena bingung kemana harus membuang sampah.
Penyesuaian diripun harus dilakukan. Solusi jangka pendeknya, saya membawa kantong plastik ke mana-mana untuk tempat sampah sementara. Tapi itu hanya berlaku sebulan pertama saja. Selanjutnya saya sudah menemukan triknya. Ternyata, tempat sampah disediakan di minimarket (kombini dalam Bahasa Jepang) dan di stasiun.
Lokasi: Family Mart, Kuji
Photo by: Mita Astari
Tempat sampah di kedua tempat tersebut pun juga harus dipisah, utamanya botol plastik, kaleng, dan kertas. Bagaimana dengan sisa makanan? Uniknya jarang sekali penduduk Jepang membuang makanan yang mereka beli. Umumya, jika mereka membeli makanan di kombini atau toko makanan, mereka akan menghabiskannya atau dibungkus. Dan lagi, porsi makanan yang dijual di Jepang itu pas. Tidak kebanyakan dan tidak kurang (ini opini saya pribadi).
3. Karena jika akan membuang sampah yang berukuran besar, kita harus membayar.
Bagaimana jika akan membuang barang-barang berukuran besar? Agak repot memang jika akan membuang barang berukuran besar yang sudah tidak terpakai. Kita harus membayar jika akan membuangnya. Besarannya minimum 500 yen, tergantung ukuran barangnya.
Caranya, kita harus membeli kupon di kombini terdekat. Lalu kita akan mendapatkan semacam stiker untuk kemudian ditempel ke barang yang akan kita buang. Pengambilan barangnya pun telah dijadwal.
4. Untuk para perokok, harus mencari smoking area.
Dari pengalaman saya hidup di Jepang, memang agak merepotkan bagi para perokok (khususnya perokok berat). Mereka harus mencari smoking area. Bentuk smoking area-nya ada yang berupa bilik atau hanya seperti tong sampah. Jika tertangkap basah oleh Polisi, bisa kena denda yang lumayan besarannya.
Lokasi: Yokohama Prefecture
Photo by: Mita Astari
Meski Ribet, tapi Tetap Bersih.
Yang membuat saya heran adalah meskipun masyarakat Jepang harus ber – ribet-ribet – ria dalam membuang sampah, namun area di Jepang masih sangat bersih. Menurut opini saya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor pertama adalah sistem persampahan di Jepang yang memang baik. Mekanisme daur ulang sampah menjadi faktor yang penting dalam mengurangi sampah di negeri Sakura ini. Itulah gunanya adanya pemilahan sampah yang meskipun rumit, tapi jelas tujuan dan penggunaannya.
Faktor kedua adalah komitmen Pemerintah dalam mengurangi sampah. Aturan yang ketat terkait pemilahan sampah dan mekanisme daur ulang secara konsisten diterapkan. Jika memang ada kesalahan atau pelanggaran oleh stakeholder, maka Pemerintah tidak akan segan untuk menegur bahkan menghukum.
Faktor ketiga, bisnis jual beli barang-barang bekas di Jepang sudah mapan. Banyak toko yang menjual barang bekas di Jepang. Salah satu yang menjadi langganan saya adalah toko Hard-Off. Toko ini tersebar di hampir seluruh area di Jepang khususnya di kota-kota besar, menjual berbagai macam barang. Mulai dari buku, mainan, alat elektronik, barang-barang rumah tangga, barang-barang hobi, hingga pakaian. Jangan membayangkan pakaian bekas yang dijual di Jepang seperti yang dijual di Pasar Senen Jakarta ya. Barang bekas yang dijual di Hard-Off masih sangat layak pakai, bahkan baju bekasnya sudah melalui proses pencucian/ laundry. Semakin baik kondisi barang, maka akan semakin tinggi harganya. Jika ada kerusakan, maka harganya akan makin turun. Jangan khawatir jika akan membeli barang elektronik bekas di Jepang (khususnya di Hard-Off), karena akan ada catatan kondisi dari barang tersebut (dalam hati saya berkata “gila...jujur banget penjualnya”). Saya pernah membeli beberapa barang di toko ini. Ada buku, jaket, mainan, dan juga jam tangan yang sampai sekarang masih bisa digunakan.
Faktor keempat, faktor yang paling penting, adalah karakter dan budaya masyarakat Jepang yang cinta kebersihan. Dengan budaya penduduknya yang sangat tertib dan memang terbiasa hidup bersih, sistem persampahan di Jepang dapat berjalan dengan sangat baik. Peraturan dan mekanisme persampahan yang baik tanpa didukung oleh kepatuhan masyarakatnya, saya rasa akan menjadi suatu hal yang mustahil untuk dilakukan.
Dari sepenggal cerita dan pengalaman saya di atas, saya berharap Pemerintah Indonesia bisa mengadopsi beberapa mekanisme yang dianut oleh Jepang. Salah satunya pemilahan sampah. Namun juga harus diimbangi dengan pembangunan ekosistem daur ulang sampah. Konsekuensinya memang cukup berat karena harus meng-edukasi masyarakat Indonesia yang (menurut saya pribadi) terbiasa tidak memilah sampah. Namun hal ini bisa dimulai dengan dimasukkannya edukasi etika membuang sampah di sekolah sejak dini. Memang masih panjang perjalanan Indonesia untuk menuju Indonesia bersih dari sampah. Namun semoga banyak pihak yang bisa menginisiasi gerakan Indonesia bersih sampah.
Ditulis oleh:
Mita Astari Y.
Alumnus GRIPS (National Graduate Institute for Policy Study), Japan
Bekerja di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
[sosmed: mitastari (IG), Mita Astari (LinkedIn)]