Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya terkait (klik disini). Jika sebelumnya dibahas tentang pemilahan sampah di Belanda, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak kota-kota di Indonesia yang peduli dengan sampah dan mencoba mengolahnya sebagai barang yang memiliki nilai/value. Sebagai contoh, pembayaran bus kota di Surabaya yang bisa dilakukan cukup dengan menukarkan botol plastik kepada petugas. Terlepas dari beberapa kendala yang dihadapi terkait dengan sistem pembayaran berbasis sampah ini (untuk lebih lengkapnya, sila baca (klik disini), paling tidak Kota Surabaya sudah selangkah lebih maju dalam mengedukasi warganya tentang nilai dari sebuah sampah.
(membayar tiket bis Suroboyo dengan sampah plastik. Sumber: www.bbc.com)
Di Kota Bandung, terdapat beberapa komunitas pecinta lingkungan yang juga turut berperan aktif dalam mengedukasi warga Bandung tentang pentingnya memilah dan mengelola sampah. Salah satunya adalah Bumi Inspirasi Learning Center (baca laman mereka lebih lanjut di www.bumiinspirasi.or.id). Komunitas ini aktif mengedukasi warga sekitar tentang pengelolaan sampah dengan menggunakan sistem bank sampah, dimana sampah yang dikumpulkan warga akan ditimbang berdasarkan jenisnya dan ditabung. Uang dari hasil tabungan bank sampah dimanfaatkan nasabah untuk dana hari raya, kebutuhan darurat, dan ada yang bisa berkurban dari sampah.
(daftar harga sampah di Bumi Inspirasi Learning Center berdasarkan kategori, sumber: www.bumiinspirasi.or.id)
Komunitas ini juga sering mengadakan acara yang bersifat incidental seperti Bumi Inspirasi Mobile Cafe, dimana sampah dapat ditukar dengan pizza/yoghurt. Ke depan, teh Isti Khairani, Founder komunitas ini berencana agar hasil penukaran sampah dari warga juga dapat digunakan untuk menyewa buku.
(warga sedang memilah sampah di Bank Sampah milik Bumi Inspirasi, sumber: www.bumiinspirasi.or.id)
Selain keaktifan komunitas dan pemerintah kota, pemerintah pusat juga memiliki concern yang sama terhadap pengelolaan sampah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyar melalui Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, misalnya telah mendirikan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R) dan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di beberapa kota di Indonesia. Termasuk juga membangun TPA sampah di Kota Padang, yang mampu menghasilkan gas bio dari sampah yang terkumpul, dan gas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik untuk operasional kompleks TPA sampah (sumber: bulletin Cipta Karya Edisi Juli 2018).
Jika kota-kota besar macam Bandung, Surabaya, dan Padang sudah mulai concern terhadap pengelolaan sampah, lalu bagaimana dengan kota kecil di Indonesia?
Saya tinggal di Pangkalpinang, sebuah ibukota dari provinsi baru yang terbentuk sebagai hasil pemekaran dari Provinsi Sumatera. Di tahun 2012, Pemerintah Kota Pangkalpinang mendirikan bank sampah di bawah Dinas Lingkungan Hidup sebagai salah satu prasyarat pendaftaran Adipura. Tetapi seiring berjalannya waktu, bank sampah ini mendapatkan respon yang cukup baik dari masyarakat, ditandai dengan meningkatnya jumlah nasabah bank setiap tahunnya. Pada tahun 2016, saya berinisiatif untuk mendaftar ke bank Sampah dengan berbekal sampah-sampah kertas yang diproduksi di kantor. Kala itu, sampah kertas HVS dihargai Rp. 1.000/kg dan sampah duplek dihargai Rp. 2.000/kg (harga tersebut masih sama hingga tahun ini).
(tabungan dan daftar harga sampah di bank sampah di Kota Pangkalpinang)
Sebenarnya. keberadaan bank sampah ini sangat membantu masyarakat untuk dapat mengolah sampah menjadi uang. Tetapi, lokasinya yang cukup jauh dari kompleks permukiman membuat warga harus berpikir dua kali untuk menyetor sampahnya kesana. Alih-alih untung, ongkos bensin yang harus dikeluarkan mungkin lebih besar daripada pendapatan dari hasil menjual sampah mereka. Selain terkendala oleh jarak, apa sih sebenarnya yang membuat sebagian masyarakat masih enggan untuk memilah sampah mereka? Jika boleh saya komparasi dengan sistem sampah di Belanda, berikut adalah beberapa argumen yang ingin saya sampaikan terkait kendala tersebut.
- Belum tersedianya tempat pemilahan sampah yang dapat diakses dengan mudah oleh warga
Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bank sampah di Pangkalpinang hanya tersedia di kompleks perkantoran yang letaknya cukup jauh dari permukiman. Jika belajar dengan kasus di Wageningen, sampah komunal sudah disediakan oleh pemerintah kota pada tiap-tiap blok permukiman sehingga warganya tidak perlu effort berlebih untuk membuang sampah mereka sendiri. Cukup jalan kaki atau naik sepeda, misalnya.
- Tempat pemilahan sampah yang tersedia belum dikelola dengan baik
Saya amati bahwa beberapa tong sampah sudah tersedia di tempat-tempat umum (seperti alun-alun, rumah sakit, dan kompleks perkantoran) yang terpilah-pilah berdasarkan jenisnya. Artinya, tong sampah yang tersedia tidak terdiri dari satu lubang saja, tapi ada beberapa. Tong-tong tersebut biasanya dibedakan melalui warna: ada warna merah, hijau, kuning, dan biru. Namun sayangnya informasi mengenai jenis sampah apa yang boleh di buang di tong tersebut masih minim atau bahkan tidak tersedia. Jika adapun masih terlalu bias.
Foto diatas contohnya. Yang termasuk kategori sampah daur ulang, berdasarkan stiker informasi yang tertempel adalah kertas, kemasan kardus, kemasan plastik, kemasan kaca, kemasan kaleng, dll. Sedangkan yang termasuk sampah lain-lain adalah sampah sisa makanan -yang notabene adalah sampah organik dan sebenarnya bisa didaur ulang-dicampur dengan sampah bungkus makanan yang seharusnya dikategorikan sebagai "other waste".
Tentu tidak bisa dikatakan bahwa semua tempat sampah di Indonesia belum terpilah dengan baik. Di dekat bank sampah Kota Pangkalpinang, contohnya, saya melihat sebuah tempat sampah ideal, dengan lima jenis sampah yang dapat dipilah.
Andai boleh mengkritisi, bukaan tong sampah yang terlalu kecil akan saya kritsi pertama kali. Saya akan kesulitan menuang sampah organik yang saya bawa dari rumah ke dalam tong berwarna hijau tersebut, kecuali memindahkan sampahnya menggunakan tangan. Kedua, masih belum adanya tong sampah khusus kaca, yang menurut saya juga harus mendapatkan perhatian. Mengingat bahwa sampah kaca merupakan limbah berbahaya yang harus dipisahkan dari aktivitas manusia.
- Belum tersedianya disinsentif melalui pajak dan denda
Di Belanda, saya harus membayar pajak sampah tahunan senilai 257,8 euro atau sekitar Rp. 4.480.000,00 untuk tiga orang (Di Belanda, sistem pajak dikenakan berdasarkan jumlah penghuni dalam satu hunian), sedangkan teman saya harus membayar denda sekitar Rp. 1.200.000,00 hanya karena beliau khilaf mencampur surat dalam sampah "other wastemya". Besarnya nilai yang harus dibayar membuat kami sangat berhati-hati dalam mengelola sampah jika tidak ingin terkena denda, dan membuat pemerintah kota memiliki kemampuan finansial untuk mengelola sampahnya dengan baik.
(tagihan pajak sampah saya di Wageningen, Belanda untuk tahun 2018)
Selain denda, disinsentif juga diberikan dalam bentuk pengenaan biaya untuk penggunaan tas kresek ketika berbelanja di supermarket atau pasar lokal senilai 10 cent (atau sekitar Rp. 1.800) untuk kresek berbahan tipis, atau 50 cent-1 euro (atau sekitar Rp. 8.700-17.400) untuk tas belanja berbahan tebal. Jangan heran jika kebanyakan penduduk lokal di Belanda akan membawa tas atau troli belanja mereka sendiri untuk menampung belanjaan mereka.
Di Indonesia, pengenaan biaya untuk penggunaan tas kresek di supermarket sebenarnya sudah pernah diinisiasi, oleh Kota Jakarta misalnya. Hanya saja, kebijakan ini hanya bersifat sementara dan pada akhirnya tidak diterapkan lagi.
- Belum tersedianya tempat pengolahan sampah
Di Pangkalpinang, sampah-sampah yang dikumpulkan di bank sampah harus dijual ke pengepul dengan harga yang rendah. Pada akhirnya, pengepul-lah yang mereguk untung dengan menjual sampah tersebut ke Jakarta untuk diolah di pabrik-pabrik besar. Belum adanya tempah pengolahan sampah merupakan kendala yang mungkin tidak hanya dihadapi oleh Pangkalpinang, tetapi juga kota-kota lainnya di Indonesia.
Pada akhirnya, mungkin masih banyak kendala lainnya yang kerap ditemui dalam proses pengelolaan sampah yang belum saya eksplorasi lebih lanjut. Tetapi andai saja kita mau belajar sesuatu dari negara maju (seperti Belanda), bukan mustahil jika suatu saat kita pun bisa mengelola sampah secara sistematis seperti mereka. Contoh kecil saja, kita bisa memiliki tempat sampah khusus kaca sehingga para pemulung sampah tidak perlu kuatir kakinya terluka terkena pecahan gelas ketika sedang mengais sampah.
Tugas besar sedang menanti kita.
Ditulis oleh Reniati Utami
(bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
IG: reniuta, LinkedIn: Reniati Utami