https://twitter.com/kota_jogja/status/583740451951288320
Suatu siang di sebuah pasar tradisional, dua simbok-simbok
pedagang sedang berbincang dengan asyiknya.
“Oalah mbok,
akhir-akhir ini kok daganganku ngga selaris dulu ya?” Keluh Mbok Prapti sambil
ngelinting rokok wismilak ijo kesukaannya itu.
“Lha ya tho mbokdhe,
ini daganganku juga sepi. Pelanggan-pelanggan yang dulu ngga tau lari kemana.”
Mbok Giyem menjawab sambal ngipas-ngipas buah-buahan dan sayuran yang
dikerubutin oleh banyak lalat ijo
itu. Ia pun lanjut bertanya ke Mbok Prapti, “Terus itu ayam-ayamnya diapain
biasanya kalo ngga kejual mbok?”
“Ini biasanya tak jual ke pawang biawak sama buaya, tapi ya
harganya tak turunin, lha wong udah ngga seger lagi. Kita kan
kalo nyari rejeki ya pakek cara yang baik. Tapi ya ada yang rada nakal, ayamnya dikasih air biar
kelihatan gedhe dan seger terus,
padahal itu ayam udah seminggu yang lalu ngga kejual-jual.” Jawab Mbok Prapti
sambil nyedot rokok lintingannya. Klepuss…klepuss…
“Wee ladalah, kalo
gitu namanya ngga barokah itu duit dagangannya, kalo kata pak Kyai itu, naudubilah.” Balas Mbok Giyem dengan
mulut yang monyong-monyong karena
geram dengan aksi demikian.
Mulutnya pun makin monyong
saat berkeluh tentang pelanggan yang hilang entah kemana. “Lha ya tho, dulu ibu-ibu yang nganter-jemput anak-anaknya sekolah di
TK sama SD disitu itu biasanya mampir kesini, kalo ngga pas nganter ya pas
jemput. Tapi kok sekarang ngga ada yang pada kesini tho ya? Satupun ngga ada lho. Ini yang beli dagangan buahku malah
mbokdhe-mbokdhe sama pakdhe-pakdhe yang udah tua-tua itu, katanya mau buat
cucu-cucunya. Ini gimana tho ya, ak
jadi bingung. Tapi ya Alhamdulillah masih dagangan masih laku, dapur masih bisa
ngebul walaupun makannya
diirit-irit.”
“Lha ngga tau tho mbokdhe! Ak ya bingung. Ini malah
biawak sama buaya yang doyan sama
ayam-ayamku. Mungkin ibu-ibu jaman now
itu udah ngga mau ke pasar kayak ginian, Mbok. Apalagi dagangan kita dilalatin
kayak gini. Kalo katanya Tukul itu, ngga higenish!”
Jawab Mbok Prapti sambil menirukan gaya Tukul Arwana, monyongin mulut sambil diusap-usap pakai tangannya.
“Hahahahahaha”. Mbok Giyem ngakak melihat gaya Mbok Prapti yang menirukan gaya Tukul Arwana
itu. Keduanya pun akhirnya ngakak
bersama.
Klepuss…setelah
sekali nyedot rokoknya, Mbok Prapti
melanjutkan pernyataannya, “Mungkin ya gara-gara jaman sekarang, udah canggih.
Apalagi semua bisa diatur lewat hape itu.
Ponakanku itu, kelas 2 SMA sekarang kalo beli kaos itu udah tinggal lewat hape itu aja. Nunggu sehari, barangnya
tiba-tiba sampai. Lha ak ya cuma
bengong. Kok bisa gitu. Dia ngga kemana-mana, barangnya malahan yang nyamperin
ke dia. Lha edan tho itu!!”
Sontak Mbok Giyem pun membalas, “Wooo…lha mungkin gara-gara itu dagangan kita sekarang sepi
pelanggan Mbok!!! Ibu-ibu yang di TK sama SD itu udah males mungkin ya ke pasar
buat beli barang-barang. Lah tapi,
ini dagangan kita kan buah, sayur, sama ayam. Terus kok sepi ya?”
“Nhaa, sekarang itu, mungkin mereka juga mikir, mending beli
di supermakret daripada di pasar ini.
Jauh lebih higenish dan mungkin
harganya juga udah ngga beda jauh. Tapi ya ngga tau.” Nah kalo menurutku lho ya, aku udah jualan disini 30
tahunan. Pasar ini ya masih gini-gini aja. Aku ya pengen pasar ini bisa lebih higenish, teratur, bersih. Jadi
pelanggan juga enak kesini. Apalagi kalo dagangan kita ini dikemas gimana
caranya biar kelihatan menarik gitu lho.” Mbok Prapti terlihat serius
menuturkan gagasannya.
“Nah iya, setuju itu kalo kayak gitu. Aku walaupun baru 25
tahun jualan disini, aku ya merasakan kalo emang kurang nyaman pasar ini. Tapi
ya gimana lagi, kita rakyat jelata gini bisa apa, punya apa. Yang penting dapur
ngebul tho, walaupun pendapatan
turun. Tapi kalo seandainya, entah gimana caranya, aku pengen caranya itu kayak
ponakanmu itu tadi lho. Pelanggan itu tinggal lewat hape tadi aja itu bisa beli dagangan kita. Jadinya kan buah-buah
sama sayur-sayur ini kan tinggal aku kiloin di rumah, aku titipin cucuku buat dikirimken ke pelanggannya. Di rumah kan
aku malah bisa nyambi bikin adonan buat gorengan gitu tho. Tapi ya harus bisa mainan hape
dulu.” Saut Mbok Giyem sambil ngunyah daun sereh kesukaannya.
“Lha iya tho, kalo
gitu kan apik tho. Tapi ya mau
gimana, kita orang cilik ngga punya
kuasa apa-apa. Pak Wali, Pak Gub, Pak Presiden pun ya ngga bakal denger kita tho. Gimana caranya denger kita juga, lha wong kita ngobrolnya disini, kuping
mereka di kantor-kantor apik-apik
itu. Hahahaha.” Kata Mbok Prapti.
Obrolan ngalor ngidul
siang itupun ditutup dengan tawa lepas keduanya yang membayangkan kuping para
pemimpin itu bisa melayang kemana-mana, seperti yang ada di serial TV ind*siar
itu.
Perbincangan dari kedua simbok-simbok di pasar tradisional
itu merupakan salah satu bentuk refleksi dari ketiadaan sebuah wadah bagi mereka
untuk menyalurkan ide dan gagasannya. Jika kita jeli dalam membaca cerita di
atas. Setidaknya ada 3 gagasan yang disampaikan oleh kedua simbok-simbok tua
itu. Dua gagasan muncul dari Mbok Prapti dan sisanya dari Mbok Giyem. Gagasan
pertama yaitu tentang pasar yang lebih higenish,
teratur, bersih. Kedua tentang dagangan yang bisa dikemas agar lebih menarik.
Dan yang terakhir, gagasan tentang pembuatan toko online khusus untuk pedagang
pasar. Walaupun cerita dan gagasan itu hanya fiktif belaka, namun, dari
pengalaman penulis, banyak orang-orang, paling tidak, di kalangan akar rumput
di pasar tradisional yang punya pemikiran-pemikiran yang ciamik. Dan akhirnya,
kita malah banyak belajar dari mereka. Terkait dengan tiga gagasan dari Mbok
Prapti dan Mbok Giyem tadi, pada akhirnya mereka bingung mau memberikan gagasan
itu ke siapa. Hingga akhirnya berkelakar tentang pemimpin-pemimpin mereka.
Hal inilah yang hingga sekarang para pihak di kota/wilayah
tidak menyadarinya. Ada gap antara
apa yang dilakukan oleh Pemerintah dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Terkadang, apa yang dilakukan oleh Pemerintah tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh “pasar” (yang dimaksud pasar disini adalah pihak-pihak swasta
dan masyarakat, bukan pasar tradisional). Terkadang juga, solusi yang diberikan
oleh Pemerintah tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, karena masyarakat
sebagai pengguna tidak mau menggunakannya. Ambil saja contoh Blok G Pasar Tanah
Abang yang merupakan wadah bagi para PKL Tanah Abang. Banyak ruang di Blok itu
yang tidak laku dan kosong sama sekali. Kalaupun ada, juga tidak berjalan
secara kontinyu. Akhirnya sia-sia juga uang rakyat yang telah digunakan untuk
program-program “pro rakyat” yang tidak diterima rakyatnya sendiri.
Program-program yang dikerjakan oleh pemerintah juga banyak
yang tidak mengikuti perkembangan jaman saat ini. Penggunaan teknologi digital,
internet, sosial media, online platform, co-working space, e-commerce,
crowdfunding, hingga jasa endorse selebgram adalah segelintir dari banyaknya
metode-metode dan cara-cara baru yang menjadi tren saat ini. Tentu saja sangat
sedikit dari orang Pemerintahan yang mencoba untuk mengaplikasikan itu untuk
pembangunan kota/wilayahnya. Hal ini karena Pemerintah yang sudah terlanjur
bekerja berdasarkan sistem birokrasi yang cenderung kurang dinamis dan
fleksibel. Sehingga banyak dari orang Pemerintahan yang cenderung hanya
mengerjakan hal-hal yang bersifat rutinitas, dimana pada akhirnya tingkat
kreativitas mereka menjadi berkurang. Namun demikian, ada juga sebagian orang
Pemerintahan yang berani mengambil langkah untuk memperjuangkan cara-cara baru
itu dan mengaplikasikannya ke dalam program-program Pemerintah. Apalagi kalau
pemimpinnya ciamik.
The Missing Link
https://t4.ftcdn.net/jpg/00/05/00/85/240_F_5008586_SvwxuR6BFbGIl5yGyoXt1fd8250TaDut.jpg
Ketidaksambungan antara program Pemerintah dan kebutuhan
atau permasalahan ”pasar” (swasta dan masyarakat) inilah yang menyebabkan
banyaknya program-program yang “gagal”. Selain itu, hal ini disebabkan
gagasan-gagasan pembangunan, sebagian besar, hanya berasal dari Pemerintah
saja. Walaupun memang sudah ada Musrenbangdes, Musrenbangkec, hingga
Musrenbangkab/kot, yang merupakan forum penyaluran aspirasi masyarakat dalam
pembangunan selama 1 tahun kedepan. Namun, program-program yang merupakan
kebutuhan masyarakat yang disalurkan melalui Musrenbang-Musrenbang yang
diadakan sekali dalam setahun itupun pada akhirnya hanya dieksekusi oleh
Pemerintah. Sangat minim masyarakat yang dilibatkan untuk diskusi dalam tahap
persiapan, perencanaan, hingga implementasi program/proyek itu. Ditambah lagi
dengan anggaran yang hanya bisa diprogramkan selama 1 tahun dan hanya dapat
direvisi sekali dalam tahun anggaran yang sama. Hal itu membuat birkorasi
Pemerintahan sangat tidak dinamis dan fleksibel. Padahal kebutuhan masyarakat
kota/wilayah sangat dinamis, sehingga membutuhkan sistem yang fleksibel untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Apalagi tantangan untuk mengikuti perkembangan
jaman terus menyelimuti, jika tidak, sebuah kota/wilayah akan tertinggal.
Maka dari itu, perlu dibentuk sebuah wadah untuk
menyambungkan antara program Pemerintah dengan kebutuhan “pasar”. Di dalam
wadah tersebut, seluruh pihak yang ada di dalam kota dapat saling bertemu dan
berkolaborasi untuk menginisiasi sebuah gagasan yang nantinya akan menjadi
program/proyek bersama, tidak hanya Pemerintah saja. Pihak-pihak yang ada di
dalam wadah dapaet meliputi pemerintah, swasta, LSM, komunitas,
universitas/institusi pengetahuan, hingga masyarakat individual. Di dalamnya,
tiap pihak dapat memberikan ide-ide solutif untuk menanggulangi masalah maupun
memenuhi kebutuhan mereka di dalam kota/wilayah itu. Sehingga setiap pihak yang
tertarik pada ide tertentu dapat membantu ide tersebut untuk terlaksana.
Bantuan tersebut bisa berupa pemikiran dalam tahap konsepsi ide; berbagi
kenalan yang bisa turut serta membantu ide itu; hingga bantuan finansial. Pada
akhirnya, ide yang telah siap untuk diimplementasikan, dapat dites di salah
satu area. Masyarakat di dalam dan sekitar area itupun dapat langsung
menanggapi dan bahkan turut serta secara aktif untuk memodifikasi ide itu,
hingga pada akhirnya hasil dari ide itu dapat terlaksana dengan baik di area
itu dan dicoba untuk area yang lain. Dengan cara itu, hasil akhir ide itu, baik
berupa produk maupun servis, dapat berjalan secara kontinyu karena itu semua
berasal, oleh, dan untuk masyarakat. Sama dengan prinsip demokrasi.
Hal itu telah diterapkan di kota Amsterdam melalui program Amsterdam Smart City sejak tahun 2009, dimana 4 partner utama (pemerintah, swasta, universitas, dan komunitas yang berasal dari masyarakat) menjadi pilar utamanya. Di dalamnya, semua pihak baik yang berasal dari dan luar kota Amsterdam dapat membagi ide-idenya untuk menangulangi permasalahan kota Amsterdam. Saat ini hingga 3.750 orang yang berasal dari berbagai negara, turut serta dalam platform online Amsterdam Smart City. Bayangkan saja, 3.750 orang dari berbagai belahan dunia memberikan ide-ide solutif mereka untuk kota Amsterdam. Tak heran apabila, banyak inovasi yang terlahir dari platform Amsterdam Smart City ini. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai platform ini, Anda bisa mengakses www.amsterdamsmartcity.com. Yang perlu ditekankan adalah, ini bukan program smart city biasa, yang mencoba untuk mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan dan menanggulangi permasalahan kota. Melainkan, Amsterdam Smart City fokus kepada prinsip kolaboratif untuk meningkatkan pelayanan dan menanggulangi permasalahan kotanya. Bahkan mereka menyatakan bahwa teknologi bukanlah tujuan utama dalam program ini, melainkan hanya sebagai instrumen untuk menuju tujuan akhir program, yakni untuk bisa membuat kota Amsterdam sesuai dengan kebutuhan di masa depan melalui berbagai macam inovasi. Hal inilah ejawantah dari istilah smart dalam Amsterdam Smart City.
Stakeholder Dalam Amsterdam Smart City
amsterdamsmartcity.com
Hal itu telah diterapkan di kota Amsterdam melalui program Amsterdam Smart City sejak tahun 2009, dimana 4 partner utama (pemerintah, swasta, universitas, dan komunitas yang berasal dari masyarakat) menjadi pilar utamanya. Di dalamnya, semua pihak baik yang berasal dari dan luar kota Amsterdam dapat membagi ide-idenya untuk menangulangi permasalahan kota Amsterdam. Saat ini hingga 3.750 orang yang berasal dari berbagai negara, turut serta dalam platform online Amsterdam Smart City. Bayangkan saja, 3.750 orang dari berbagai belahan dunia memberikan ide-ide solutif mereka untuk kota Amsterdam. Tak heran apabila, banyak inovasi yang terlahir dari platform Amsterdam Smart City ini. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai platform ini, Anda bisa mengakses www.amsterdamsmartcity.com. Yang perlu ditekankan adalah, ini bukan program smart city biasa, yang mencoba untuk mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan dan menanggulangi permasalahan kota. Melainkan, Amsterdam Smart City fokus kepada prinsip kolaboratif untuk meningkatkan pelayanan dan menanggulangi permasalahan kotanya. Bahkan mereka menyatakan bahwa teknologi bukanlah tujuan utama dalam program ini, melainkan hanya sebagai instrumen untuk menuju tujuan akhir program, yakni untuk bisa membuat kota Amsterdam sesuai dengan kebutuhan di masa depan melalui berbagai macam inovasi. Hal inilah ejawantah dari istilah smart dalam Amsterdam Smart City.
Amsterdamsmartcity.com
Untuk itu, diperlukan sistem yang dinamis dan fleksibel.
Amsterdam Smart City pun menggunakan prinsip dasar itu, dimana tiap ide yang
sudah dalam tahap siap dites dapat diaplikasikan di area manapun di Amsterdam
tanpa harus menunggu dokumen perencanaan maupun izin-izin lain. Amsterdam
percaya bahwa tiap hal yang baru patut untuk dicoba dan dites di lapangan.
Mereka percaya bahwa membangun kota itu harus secara learning by doing, sehingga mereka dapat mengetahui kekurangan dari
hasil idenya, dan memperbaikinya secepat mungkin. Jadi ya jangan heran kalau
mereka bisa membuat sebuah kota di bawah permukaan air laut, membangun
terowongan kereta bawah tanah tanpa pernah ada banjir, dan segala teknologi
serta hal-hal inovatif lain yang berkesan bagi kita ketika mengunjungi kota
itu. Semua tidak ada yang tidak dilakukan secara sengaja, semuanya dipersiapkan
secara bertahap, dengan prinsip learning
by doing, learning from mistake, fill fast learn fast.
Nah, kalau misalnya platform yang sama bisa diaplikasikan di
kota/wilayah di Indonesia, maka banyak masyarakat yang dapat menyalurkan ide
solutifnya hingga mengembangkannya menjadi sebuah produk atau servis yang
menjadi solusi (sebenar-benarnya) di lapangan. Sehingga 3 gagasan Mbok Prapti
dan Mbok Giyem tadi kan jadinya bisa tersalurkan. Siapa tau Mbok Prapti dan
Mbok Giyem nanti akhirnya punya Start-Up bernama “Ayam Sayur”, dengan kemasan
produknya ala Giant, dari hasil gagasan mereka yang dikembangkan di dalam
platform itu. Mungkin saja mereka jadi selebgram gara-gara mengendorse
dagangan-dagangannya. Tak lupa juga, pasar tradisionalnya jadi
(sebenar-benarnya) pasar rakyat, karena ide-ide desain, ukuran, hingga
materialnya berasal dari rakyat sendiri. Jangan-jangan, pasar tradisionalnya
malah jadi co-working space dan area gudang untuk banyak Start-Up, karena para
pedagangnya beralih berjualan online. Bayangkan saja, Mbok Prapti yang sudah
tua itu duduk di atas kursi kerja, mantengin
laptop sambil nyedot rokok wismilak ijonya. Sedangkan Mbok Giyem sibuk
dengan hape nya untuk mengelola orderan sambil
ngunyah-ngunyah daun serehnya, hahahahaha
Pemberitahuan:
-
Informasi mengenai Amsterdam Smart City
didapatkan penulis dari sumber wawancara dan penelaahan dokumen terkait. Saat
ini penulis sedang meneliti tentang interaksi antara smart city dan manajemen
lingkungan; serta sistem inovasi kota. Keduanya mengambil area studi di
Amsterdam dengan kasus Amsterdam Smart City.
-
Penamaan tokoh dan cerita yang sama, sama sekali
tidak disengaja. Keduanya hanya fiktif belaka untuk menjadi contoh dan cerita
pendukung untuk menjelaskan esensi ide dalam tulisan ini.
Ditulis oleh: Zulfikar Dinar Wahidayat Putra
Mahasiswa Master of Urban Environmental Management, Wageningen University
(email: zulfikar.dinar@gmail.com)
Mahasiswa Master of Urban Environmental Management, Wageningen University
(email: zulfikar.dinar@gmail.com)