Sumber: iamexpat.nl
Di salah satu penelitian tentang tingkat literasi negara-negara di dunia, Indonesia menempati peringkat
kedua .. dari bawah; negara ke 60 dari 61 negara yang di survei. Tujuan dari
penelitian tersebut adalah untuk menilai minat baca dan sarana yang mendukung
perilaku tersebut. Finlandia menempati peringkat 1 dan negara-negara Eropa
lainnya menempati posisi sepuluh besar, sedangkan Indonesia serta beberapa
negara di Asia Tenggara terpuruk di peringkat 50-an. Bagaimana tidak, perpustakaan
sebagai salah satu dan elemen terpenting dalam mendukung minat baca minim
keberadaannya di tengah masyarakat di Indonesia. Coba deh, ada berapa banyak
perpustakaan umum di Jakarta? Itu ibukota negara loh, bagaimana ceritanya
dengan kota-kota lain?
Mencuplik artikel dari Rappler, setidaknya ada beberapa faktor yang menjadikan orang-orang Indonesia enggan membaca buku, misalnya saja tidak memiliki akses mudah untuk mendapat buku. Menurut Okky Madasari, penulis Indonesia yang memenangkan Penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2012, masyarakat tidak dididik untuk gemar membaca. “Sistem pendidikan kita tidak membentuk orang untuk suka membaca buku, terutama bacaan seperti sastra. Kita hanya dibiasakan untuk menghafal dan mengikuti apa yang dikatakan guru,” katanya. Precies! Saya jadi ingat anak-anak dari Ben Cash di film Captain Fantastic yang diharuskan membaca buku tiap malam. Bacaannya pun selevel Middlemarch-nya George Eliot sampai The Fabric of the Cosmos-nya Brian Greene. Mereka kemudian dites untuk memberikan ulasan buku tersebut sesuai dengan pemahaman dan pendapat personal mereka. Mereka didik untuk mengerti bukan menghafal. Orang tua pun memegang peranan besar dalam inisiasi awal minat baca pada anak.
Mencuplik artikel dari Rappler, setidaknya ada beberapa faktor yang menjadikan orang-orang Indonesia enggan membaca buku, misalnya saja tidak memiliki akses mudah untuk mendapat buku. Menurut Okky Madasari, penulis Indonesia yang memenangkan Penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2012, masyarakat tidak dididik untuk gemar membaca. “Sistem pendidikan kita tidak membentuk orang untuk suka membaca buku, terutama bacaan seperti sastra. Kita hanya dibiasakan untuk menghafal dan mengikuti apa yang dikatakan guru,” katanya. Precies! Saya jadi ingat anak-anak dari Ben Cash di film Captain Fantastic yang diharuskan membaca buku tiap malam. Bacaannya pun selevel Middlemarch-nya George Eliot sampai The Fabric of the Cosmos-nya Brian Greene. Mereka kemudian dites untuk memberikan ulasan buku tersebut sesuai dengan pemahaman dan pendapat personal mereka. Mereka didik untuk mengerti bukan menghafal. Orang tua pun memegang peranan besar dalam inisiasi awal minat baca pada anak.
Perpustakaan umum di kota kecil seperti Wageningen pun
membuat tempat yang nyaman untuk para pengunjung kecilnya.
Kembali
ke masalah perpustakaan. Di Belanda, saya menemukan setidaknya tiap kota punya
satu perpustakaan umum. Saya tinggal di kota kecil Wageningen yang ternyata
punya perpustakaan yang cukup asik. Terkadang saya pun sering mengerjakan tugas
di sini jika penat dengan suasana kampus. Mulai dari koneksi internet gratis
hingga peminjaman DVD dan area untuk pemutaran film atau pertunjukan pun
tersedia. Ini baru di kota kecil loh. Di Amsterdam, satu lantai penuh dari tujuh
lantai yang ada didedikasikan untuk koleksi anak-anak lengkap dengan area
bermain! Oh iya, karena ini di Belanda koleksi untuk anak-anaknya cukup
terbatas hanya untuk bahasa Belanda dan sedikit bahasa Inggris. Di negara seluas 41,543 km2
dengan populasi sekitar 17 juta jiwa ini setidaknya ada 579 perpustakaan umum
dan 1.700-an perguruan tinggi yang dapat memenuhi kebutuhan baca penduduknya.
Perpustakaan di Eropa, atau di Belanda setidaknya, berada di tengah-tengah kota dan mudah diakses oleh masyarakat, seperti di dekat stasiun kereta atau di alun-alun kota. Tidak hanya untuk membaca, berbagai kegiatan publik pun umum diselenggarakan disini. Bayangan tentang perpustakaan bukan bangunan buram sunyi, dan berbau apak khas buku-buku lama, namun berwarna dan kekinian. Anak-anak bebas menyelami buku-buku aktivitas sesuai dengan umurnya ditemani para orang tua. Tidak jarang mereka berlarian dengan alat-alat peraga dan mainan yang tersedia. Sedari dini mereka diperkenalkan dengan pengalaman akan buku yang mengasyikkan. Semuanya dimulai dari membangun perpustakaan yang terjangkau oleh masyarakat dan yang paling penting: ramah anak.
Perpustakaan di Eropa, atau di Belanda setidaknya, berada di tengah-tengah kota dan mudah diakses oleh masyarakat, seperti di dekat stasiun kereta atau di alun-alun kota. Tidak hanya untuk membaca, berbagai kegiatan publik pun umum diselenggarakan disini. Bayangan tentang perpustakaan bukan bangunan buram sunyi, dan berbau apak khas buku-buku lama, namun berwarna dan kekinian. Anak-anak bebas menyelami buku-buku aktivitas sesuai dengan umurnya ditemani para orang tua. Tidak jarang mereka berlarian dengan alat-alat peraga dan mainan yang tersedia. Sedari dini mereka diperkenalkan dengan pengalaman akan buku yang mengasyikkan. Semuanya dimulai dari membangun perpustakaan yang terjangkau oleh masyarakat dan yang paling penting: ramah anak.
Lantai bawah perpustakaan umum Amsterdam yang
didedikasikan untuk koleksi anak, lengkap dengan berbagai mainan dan gimmick.
Bagaimana
dengan Indonesia? Untuk mengejar ketertinggalan dari peringkat dua terbawah
memang tidak mudah. Padahal menurut data terbaru Perpusnas RI, ada 25.728
perpustakaan di seluruh Indonesia dengan proporsi terbanyak perpustakaan
sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan daerah, perpustakaan khusus, dan
perpustakaan perguruan tinggi. Sayangnya, jumlah perpustakaan yang banyak itu lagi-lagi
tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan yang mumpuni dan pelayanan yang
terintegrasi. Yang mengejutkan, ternyata Jawa Barat memiliki perpustakaan
daerah yang cukup banyak, 4.780 perpustakaan. Coba, selain perpustakaan kampus,
seperti ITB atau Universitas Padjajaran, kamu pernah ke perpustakaan daerah ngga di Jawa Barat?
Setidaknya ada angin segar yang datang dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) di Jakarta. Perpusnas RI ini mulai dibuka kembali untuk publik pada tanggal 6 Oktober 2017 lalu dengan gedung baru setinggi 27 lantai. Dengan tinggi 126,3 meter, Perpusnas RI pun digadang-gadang menjadi perpustakaan tertinggi di dunia mengalahkan Shanghai Library di Republik Rakyat Tiongkok yang memiliki tinggi 106 meter. Yang jadi perhatian saya, di Perpusnas RI yang baru ini ada satu lantai yang khusus untuk layanan koleksi anak, lansia, dan disabilitas!
Layanan koleksi anak setidaknya mendapat jatah satu lantai,
walaupun digabung dengan koleksi untuk lansia dan disabilitas. (Photo credit: kumparan.com)
Saya
jadi tak sabar untuk mencoba Perpusnas RI yang baru nanti sekembalinya ke
Indonesia. Semoga tidak kalah keren
dari perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama koleksi bacaan anak, biar
anak-anak saya (dan kalian) nanti ngga iri
dengan anak-anak di Eropa.
(Ditulis oleh: Novita Eka Syaputri)
Mahasiswi master Communication, Health,
and Life Sciences, Wageningen University. Email: novitaekasyaputri@gmail.com,
Instagram: @nobskiw
Rujukan:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/09/16/megahnya-gedung-perpustakaan-nasional-ri-yang-baru-tertinggi-di-duniahttps://nasional.sindonews.com/read/1182242/144/budaya-membaca-di-indonesia-jauh-tertinggal-1487741860
http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia
http://gpmb.perpusnas.go.id/index.php?module=artikel_kepustakaan&id=42
http://intisari.grid.id/Unique/Others/Perpustakaan-Di-Indonesia-Banyak-Jumlahnya-Sendiri-Sendiri-Jalannya