“Lithuania is one of Baltic States and we are not Russia!!!”,
- Cuplikan tegas, presentasi mahasiswa asal Lithuania, Maret 2017-
Negara Baltik tidak masuk dalam deretan negara-negara di Eropa yang ingin saya kunjungi, kehadiran saya di salah satu mantan Union of Soviet Socialist Republics (USSR) ini bukan untuk kunjungn wisata, namun bagian dari salah satu mata kuliah yang wajib saya ambil, European Workshop. Namanya juga mantan, jadi wajar jika masih terlihat jejak-jejak kenangan USSR di Vilnius, Ibukota Lithuania. Misal; gedung-gedung pemerintahan, barang-barang seken era USSR yang dijual sebagai buah tangan, atau budaya dan karakter masyarakatnya yang jarang tersenyum; berbaju serba gelap dan jarang berwarna, atau anak-anak kecil di taman yang lebih cenderung duduk diam tidak berlarian layaknya anak-anak kecil di Eropa Barat atau Selatan. Terlepas dari romantisme era 1922 – 1991, Lithuania tetap berkembang meski tertinggal dari keluarga Eropa lainnya.
Perempuan lokal adalah objek yang cukup menarik perhatian saya, rambut mereka persis boneka barbie, hidung mancung, kulit putih sehat dan cantik. Menurut beberapa teman, perempuan eropa tercantik berasal dari Latvia, entahlah karena saya belum pernah melihat mereka — gileee di Lithuania aja udah macam bidadari, gimana Latvia.
Selain itu, di tengah Ibukota, ada negara jadi-jadian Užupio Respublika, merupakan rumah untuk populasi Yahudi, mereka punya; tanggal kemerdekaan sendiri (Užupis Day, 1 April), 4 bendera yang berubah warna berdasarkan musim, puluhan amandemen yang berisi peraturan-peraturan unik, mereka punya ayunan diatas sungai, dan hal yang paling menarik perhatian saya adalah mereka punya patung Jesus Backpacker. Patung ini unik, mereka menganggaap Jesus adalah individu pertama yang melakukan backpacker di dunia. Jika saya punya waktu lebih lama, negara siluman ini menarik untuk dijelajahi lebih mendalam.
Transportasi disini sangat murah jika dibandingkan dengan Belanda, yang unik bus-bus disini merupakan barang ‘bekas’ dari Eropa Barat (Belanda dan Jerman), bisa dilihat dari sejumlah petunjuk teknis didalam bus. Ragam kuliner disni juga sangat beragam dan toko-toko buka sampai tengah malam. Terkait bangunan, secara umum terlihat jelek dari luar namun megah di dalam, mungkin hal ini juga mewakili sifat mereka yang cenderung tertutup dan tidak suka pamer, atau asumsi lainnya mungkin untuk mengeliminasi gap dalam struktur sosial, maklum mantan sosialis, semua sama suka sama rata. Ada banyak gereja khatolik orthodok yang bisa dikunjungi, ciri khasnya ada kubah dengan salib emas diatapnya, selain itu ada 2 bangunan istana yang wajib dikunjungi; Gediminas Castle dan Tarakai Island Catle. Istana yang pertama terletak di tengah kota di atas bukit, sedangkan yang kedua terletak di luar kota dan di tengah danau.
Ramadhan musim panas, minoritas, dan baltik adalah kombinasi yang tepat untuk menguji iman dan taqwa, 19 jam tepatnya. Selama 10 hari di Vilnius hanya satu kali saya melihat perempuan berhijab, dan tidak satupun kulit hitam, mungkin karena negara ini bukan tujuan refugee jadi sulit menemukan saudara-saudara timur tengah, bahkan teman saya juga berpesan, negara ini masih cukup rasis. Pengalaman saya di moda transportasi umum dan ruang publik membuktikan, semua mata seperti tertuju ke saya, antara tertarik dan kaget — ini orang panas-panas kenapa pakai tudung kepala? — mungkin begitu pikiran di benak mereka. Tapi saya tidak begitu peduli, selain itu saya juga senang menjadi pusat perhatian, ehem.
Kunjungan singkat di Lithuania membuka mata pikiran saya, tentang negeri yang berkutat dengan indentitas, tentang eksistensi kebarat-baratan dan tentang usaha berkembang dari sokongan dana negara-negara tetangga yang sejahtera. (/wen)
Artikel ini juga dapat dibaca disini ya sahabat Jelata
Artikel ini juga dapat dibaca disini ya sahabat Jelata
(Ditulis oleh: Arsiya Isrina Wenty Octisdah, Mahasiswa Urban Environmental Management, Wageningen University)