Mendengar nama Korea Selatan (Korsel), mungkin yang akan terbayang di
benak kebanyakan orang Indonesia ataupun Aceh adalah K-Pop, K-Drama,
atau begara dengan kecepatan internet tercepat di dunia. Tentu saja kita
semua punya perspektif yang berbeda-beda tentang Korea.
Alhamdulillah, saya mendapat kesempatan untuk mewakili Aceh dan
Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Antarnegara (PPAN) 2015 ke
Korea. Para delegasi program ini mendapat kesempatan untuk melihat
langsung bagaimana kehidupan masyarakat Korsel. Bahkan, dalam program
ini kami juga mendapatkan pengalaman homestay dengan keluarga Korsel
untuk mengenal lebih dekat.
Terlepas dari beragamnya pandangan kita tentang Korea, ternyata
Republik Korea Selatan (Republic of Korea) merupakan sebuah negara yang
memiliki banyak sekali kesamaan dengan negara kita, Indonesia. Mulai
dari sistem pendidikan,
di mana jenjang SD-nya enam tahun, dilanjutkan dengan SMP tiga tahun,
SMA tiga tahun, dan kuliah (perguruan tinggi) empat tahun.
Kemudian, terdapat pula kemiripan sejarah, mengingat Korea juga pernah dijajah oleh Jepang, seperti halnya bangsa kita.
Kemerdekaan Korea hanya berbeda dua hari dengan Indonesia, yaitu 15
Agustus 1945. Setelah merdeka, tahun 1950-1953 Korea dilanda perang
saudara antara Korea Utara dan Korea Selatan yang berakhir dengan
gencatan senjata, tapi belum ada pernyataan damai dari kedua negara
sampai sekarang.
Kemiripan lainnya ialah, dalam sejarah perjalanan Republik Korea
Selatan, mereka juga mengalami peristiwa penting dalam hal dinamika
peyelenggaraan negara, yaitu “reformasi” layaknya peristiwa 1998 di
Indonesia. Peristiwa itu terjadi pada 1980 di mana terjadi demonstrasi
besar-besaran yang disebabkan oleh kekecewaan rakyat atas transisi
kekuasaan yang tidak demokratis, di mana militer ingin mengambil alih
kekuasaan setelah terbunuhnya presiden mereka saat itu, Park Chung-Hee.
Bahkan terjadi penyiksaan dan pembunuhan oleh militer dan merupakan
titik balik sejarah demokrasi Korsel.
Walaupun banyak kemiripan dalam beberapa hal, tapi output yang kita
saksikan sekarang ini jauh berbeda. Tentu kita harus belajar banyak dari
mereka. Saya sempat menanyakan ke sejumlah teman di Korsel tentang apa
hal yang menurut mereka membuat Korea dapat berkembang dengan cepat.
Salah satunya adalah budaya palli-palli atau “cepat-cepat”. Di mana hal
ini dipadukan dengan etos kerja (hardworking) mereka yang sangat luar
biasa.
Setiap hari dan di mana pun kita dapat melihat bagaimana masyarakat
Korea berjalan dengan cepat dan terkesan terburu-buru. Sejak awal kami
tiba, pihak koordinator kami dari Korea sudah mengingatkan untuk tetap
tenang jika ada masyarakat yang tidak sengaja menabrak kami, itu bukan
berarti mereka marah. Namun, hingga akhir program kami tak pernah
merasakan ditabrak tidak sengaja. Yang terjadi justru, kami sering
“hampir” ditabrak.
Kami juga belajar untuk beradaptasi dengan kebiasaan mereka yang
berjalan dengan cepat. Ketika akan menaiki bus, misalnya, koordinator
selalu mengatakan kepada kami, “Palli-palli” agar kami bergegas untuk
naik ke bus, karena mereka selalu mempergunakan waktu dengan sangat
efektif.
Bukan hanya ketika berjalan, palli-palli juga mereka terapkan ketika
melakukan sesuatu, baik itu bekerja, memasak, mencuci piring, dan
lainnya. Walaupun memiliki kebiasaan melakukan sesuatu dengan cepat,
mereka tetap harus melakukannya dengan cermat dan sempurna. Palli-palli
merupakan hal yang sangat saya kagumi dari masyarakat Korea, begitulah
mereka sangat menghargai waktu, bahkan satu menit pun.
Filosofi palli-palli yang dianut oleh masyarakat Korea Selatan
dinilai mampu menjadikan negara ini bangkit dari keterpurukan setelah
hancur dilanda perang.
Harapan saya, mari kita belajar menghargai waktu dan melakukan
sesuatu dengan sungguh-sungguh. Karena itulah salah satu kunci agar
Indonesia, khususnya Aceh, untuk bangkit. (/rez)
*Tulisan ini juga dimuat pada Serambi Indonesia
(Ditulis oleh: Ikhwan Reza, Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Antarnegara 2015 ke Korea Selatan)
IG: @ikhwanreza