‘Jadi, nanti bangunan yang akan kalian sewa selama satu tahun ke depan itu termasuk ke dalam kategori energy label D ya’, jelas pengelola apartemen berambut pirang, sembari menyodorkan selembar kertas bertuliskan informasi general mengenai pelabelan gedung terkait dengan energi di Belanda, pada suatu zomer. Saat itu, saya sedang berkunjung ke kantor beliau untuk mengurus berkas sewa apartemen selama melanjutkan pendidikan di Belanda, dan pengelola apartemen menjelaskan hal tersebut sesaat setelah berkas sewa saya tandatangani. Sayangnya, seluruh berkas sewa, termasuk energy label dimaksud, ditulis dalam Bahasa Belanda. Saya mencoba memahami informasi yang tertera di lembaran kertas itu, tapi zonk. Rasanya seperti membaca huruf Sansakerta. Gedung diberi label? Apa sih?
Pertanyaan ini sedikit terabaikan sampai kemudian pada suatu hari, saya ingin membeli vacuum cleaner baru karena unit lama yang lama ngadat tiba-tiba. Ketika sedang melihat beberapa vacuum di sebuah laman toko daring, label yang sama kembali muncul. Tertulis disitu informasi mengenai ‘energy label’, dan si vacuum incaran masuk ke dalam label B. The same confusion occurred. What do these labels indicating of? So I google it (google: verb).
Jadi, menurut Wikipedia, label pemeringkatan energy (energy rating) yang digunakan pada bangunan (Building Energy Rating) pada prinsipnya hampir sama dengan label yang digunakan untuk peralatan elektronik rumah tangga. Pelabelan dimulai dari A sampai dengan G, dimana bangunan yang diberi label A menandakan paling energy efficient, dan vice versa untuk label G (catatan: disini saya hanya membahas mengenai bangunan karena sesuai dengan latar belakang pekerjaan saya, dan peralatan elektronik jelas bukan spesifikasi saya).
So, di daratan Eropa, sejak Tahun 2008, bangunan seperti perkantoran, sekolah, rumah sakit, dan beberapa residential buildings wajib diberi label energi. The same rules applied to buildings in The Netherlands, dimana disebutkan bahwa bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya harus memiliki energy performance certificate ketika dibangun, dijual, atau disewakan, dan pemilik bangunan wajib menyerahkan sertifikat tersebut kepada pembeli atau penyewa. Sertifikat ini diterbitkan oleh certified advisor dan hanya berlaku selama 10 tahun sejak diterbitkan (www.business.gov.nl).
Label ini menunjukkan performa energi dari sebuah bangunan. Selain itu, label ini juga mengindikasikan perlu/ tidaknya bangunan tersebut menerapkan langkah-langkah efisiensi energi yang memungkinkan untuk dilakukan dalam rangka penghematan energi, sekaligus mendapatkan label yang lebih baik. Semakin rendah label yang diberikan pada bangunan tersebut (paling rendah ada di label G), maka semakin banyak building indicators yang perlu ditingkatkan agar energi bangunan tersebut memiliki performa yang lebih optimal. Tidak sampai disini saja, mulai Tahun 2023, seluruh bangunan perkantoran di Belanda harus mengantongi minimum label C, atau bangunan tersebut akan disegel. Beberapa pengecualian diberlakukan misalnya jika kantor tersebut merupakan bagian dari bangunan yang lebih besar dan prosentase penggunaan kurang dari 50% (https://www.natlawreview.com/article/energy-label-c-obligation-all-office-buildings-netherlands-2023-few-exceptions).
Jadi, apa saja sih kriteria penilaian untuk menentukan apakah suatu gedung layak diberi label A, B, C, D, E, F, atau G? Banyak versi, sebenarnya. Beda literatur akan menghasilkan kriteria yang (slightly) berbeda. Jika mau diriset secara serius, mungkin bisa menghasilkan satu dokumen disertasi tersendiri – and it took three to four years to accomplished, yeah –. However, disini saya akan mencoba menjabarkan kriteria pelabelan gedung dari dari referensi tunggal secara singkat, yang mudah-mudahan cukup menggambarkan bagaimana sebuah gedung diberikan label energi.
Berdasarkan sebuah referensi mengenai perhitungan energi pada gedung di Eropa (Guide for a building Promoting solar and bioclimatic construction, n.d.), saya menemukan bahwa energi dihitung berdasarkan:
- Compactness of the building (kepadatan bangunan) yang mempengaruhi thermal loss dan heating load.
- Thernal insulation and thermal bridges (selubung bangunan) of walls, roof, and floor.
- Glazing area, orientation, and type.
- Ventilation atau bukaan bangunan.
- Thermal mass. Secara singkat, thermal mass mempengaruhi konsumsi energi jika bukaan yang terkena matahari cukup lebar, sehingga memungkinkan cahaya matahari tersimpan di dalam gedung dan mengakibatkan naiknya heat atau suhu udara di dalam gedung.
- Lighting. Kebutuhan energi yang digunakan untuk pencahayaan (lampu, red) berpengaruh terhadap konsumsi energi gedung secara keseluruhan.
Sebenarnya, panduan penghitungan energi di Indonesia sudah disediakan, baik oleh Pemerintah maupun private sector. Dari sisi pemerintah, misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 86/SE/DC/2016 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bangunan Gedung Hijau yang isinya memuat panduan penilaian kinerja Bangunan Gedung Hijau berdasarkan tahapannya masing-masing (tahap pemrograman, tahap perencanaan teknis, tahap pelaksanaan konstruksi, dan tahap pemanfaatan). Sayangnya, Juknis tersebut sepertinya sampai dengan saat ini mostly digunakan untuk meng-assess gedung-gedung yang pembangunannya dibiayai oleh Pemerintah dan akan diajukan sebagai Bangunan Gedung Hijau. Adapun hasil assessment yang dikeluarkan adalah sertifikasi bangunan gedung hijau berdasarkan peringkat yang diperoleh (utama, madya dan pratama). Pelabelannya pun belum bersifat wajib dan general untuk seluruh bangunan gedung negara. Sedangkan dari sisi swasta, ada Green Building Council Indonesia yang juga melakukan penilaian terhadap gedung-gedung yang pembangunannya didanai oleh pihak swasta, dengan pemeringkatan digolongkan ke dalam 4 (empat) level yaitu platinum, gold, silver, dan bronze.
Jadi, kembali pada cerita mengenai apartemen yang saya sewa di Belanda 4 tahun silam, ternyata bangunan tersebut masuk dalam label E. Sekilas yang saya tangkap dari pengelola apartemen ketika mencoba menjelaskan dalam Bahasa Inggris yang campur aduk dengan Dutch, bangunan yang akan saya tempati termasuk berenergi rendah karena merupakan bangunan lama. Selubung bangunannya masih bersifat tradisional. Berbeda dengan bangunan modern yang dindingnya didesain beberapa lapis agar tetap hangat ketika musim winter, sehingga dapat mengurangi intensitas penggunaan heater.
To compared with, sebelum menyewa unit di bangunan lama tersebut, saya pernah menyewa apartemen yang bangunannya memiliki desain lebih modern (dengan harga sewa lebih mahal tentunya, selisih hampir 3juta/ bulan. That’s why I decided to move). Bagaimana tidak? Lantainya saja bisa otomatis menghangat ketika suhu di dalam ruangan berangsur dingin. Ketika menjelang winter, misalnya. Moreover, suhu seluruh ruangan juga dikontrol dalam satu panel saja. Ingin panas atau dingin? Tinggal atur suka-suka, asal mampu membayar biaya gas untuk menghangatkan ruangan ketika winter tiba. Atau biaya pendingin ruangan, ketika summer melanda. Bandingkan dengan gedung berenergi label rendah yang hanya memiliki heater sebagai penghangat ruangan (lupakan AC ketika zommer tiba). Itupun harus dioperasikan secara manual dengan memutar satu per satu tombol heater yang tersedia di masing-masing ruangan. Kelebihan metode manual ini adalah heater hanya dinyalakan pada ruangan yang paling banyak dilakukan aktifitas di dalamnya, sehingga ruangan yang jarang dikunjungi tidak perlu dinyalakan heater-nya. Tagihan gas jadi hemat!
Sumber:
Guide for a building Promoting solar and bioclimatic construction. (n.d.).
Ditulis oleh:
Reniati Utami (JFT TBP Muda di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
IG: reniuta, LinkedIn: Reniati Utami